Jika sebuah perseroan ingin Go Public, bagaimana menentukan asset mereka? Terlebih lagi dalam dunia Service Industry ? Berapa komposisi yang bersifat tangible dan intangible? Cara pandang dan persepsi tentang apa saja komponen yang menentukan Nilai buku perseroan (the valuation of the company) akan amat menentukan bagaimana sebuah perseroan mendesain organisasi mereka.
Perlu dicatat bahwa, dengan trend knowledge economy yang makin mengambil peran, porsi intangible assetakan makin meningkat. Menurut riset yang dilakukan oleh Standard& Poors, lebih dari 60 % dari market values sebuah perseroan hari hari ini dikaitkan dengan intangible assets. Ini berarti hal-hal yang bersifat “soft”, diantaranya yang bersifat relational, organizational, Networks, struktural dan tentu saja kompetensi human capital.
Sama seperti asset-harta benda berwujud -tangible- pada level personal.Harta benda yang berwujud ini gampang sekali hilang.Ia akan cepat lenyap jika ada bencana kebakaran, malapetaka-perang, serangan hama- rayap dan lain-lain, begitu juga fixed aset perseroan. Namun jika asset itu bersifat intangibles, maka tidak ada yang dapat merebutnya.Ia akan sustained dan dapat dibangun kembali diatas puing. Pendek kata- human capital sebagai intangible asset adalah REAL asset.
Untuk level korporasi, supaya intangibles asset ini punya economic values dan nilai kapitalisasi, Maka intangible asset haruslah di-institutionalisasikan kedalam sistem didalam organsasi. Dengan begitu ia teroganized dan terserap kedalam sistem; Tanpa terinstitutionalized, berbagai kemampuan dan pengetahuan menjadi milik individual, dan perseroan bergantung pada figur orang. Institutionalisasi itu adalah konversi pengalaman dan pembelajaran terdahulu, dari yang terhimpun dalam kumpulan individu kedalam suatu sistem dan proses, dan menjadi milik dan sistem dan organisai. Kata kuncinya adalah Proses yang dapat diulangi, (repeatbles dan duplicable) dan terbukti handal, jika dijalankan orang lain. Tidak perlu re- inventing the wheel.Tidak juga perlu kembali ke titik asal- back to square one, ketika seseorang harus mengambil alih pekerjaan, akibat pekerja sebelumnya meninggalkan organisasi.
Proses institutionalisasi berhubungan dengan disiplin pemahaman management, yang membuat dan melakukan proses konversi pengalamanan dan keahlian kerja menjadi suatu proses yang repeatables dan realiables didalam organisasi.Dengan begitu perseroan tidak perlu selalu memulai sesuatu dari nol, ketika pejabat penangggung jawab suatu divisi, meninggalkan pekerjaan dan digantikan orang baru.
Perseroan yang ingin ikut bermain dalam aturan main yang baru dalam knowledge economy ini mau tidak mau harus mempertimbangakan faktor intangible ini.Hal-hal yang bersifat intangible diatas amat mempengaruhi iklim kerja suatu organisasi.Dan iklim kerja diorganisasi mempengaruhi net operating income.Iklim kerja perseroan juga mempengaruhi sales.Dan tentu saja iklim kerja mempengaruhi seberapa betah orang mau terus bekerja dan memberikan kemampuan terbaiknya kepada perseroan.
Tidak ada yang meragukan, kompetisi makin tajam dan keras.Konsumen makin cerdas, terhubung dan makin menuntut. Disisi lain, pekerja yang berbakat dan punya kompetensi tidak bisa lagi diimingi-imingi dengan reward gaji semata, jika perseroan ingin membuat mereka betah untuk tinggal terus didalam perseroan.
Dengan makin terbatasnya peran pendanaan (capital) sebagai sumber kompetisi, mau tidak mau kini perseroan harus menoleh pada senjata andalan kompetisi yang lain: memperebutkan sumber daya manusia yang punya kompetensi dan mentalitas yang hebat. Upaya ini tidak mudah.Ia memerlukan berbagai kombinasi teknik dan arts of Engagement.
Hendrik Lim, MBA (defora@hendriklim.com)