Sebagian besar perseroan keluarga gagal lintas generasi. Tiga pilar untuk memastikan perseroan keluarga sustain.
Konglomerasi Indonesia memerlukan transformasi struktual jika ingin menjadikan dirinya sebagai bagian Indonesia Incorporated yang membawa kejayaan bangsa.Konglomerasi Korea, seperti Hyundai, LG atau Samsung, sudah membuktikan kepiawaiannya. Kekuatan Korea Inc tersebut membawa dan menempatkan Korea dalam peta negara maju.Apa saja belenggu, tantangan dan solusi untuk mensukseskan ambisi tersebut? Pengamatan umum dan forensik terhadap konglomerasi Indonesia, kurang lebih akan menampilkan potret diagnosis berikut ini :
1. Gerak tumbuh diversifikasi sangat dipicu oleh spirit bisnis semata.Setiap kesempatan yang terbuka segera diraup, dengan menggunakan kekuatan leverage group.Pakem ini meskipun secara bisnis sering menguntungkan, namun tidak membawa atau memperhitungkan aspek strategis kekuatan sinergis dan aliansi intra group. Ia lebih sering berjalan sendiri-sendiri, tanpa hubungan core competensi antara satu anak perseroan dengan yang lain. Konstruksi ini seperti radikal bebas yang bergerak otonom.Dengan kata lain, basis diversifikanya dipicu oleh Opportunitistik, daripada dalam suatu konsep koridor Masterplan. Akibatnya efek Chenistry & Kolaborasi terasa asing.
2. Sebagian besar bisnis konglomerasi mati,ketika foundernya mati. Konglomerasi perlu membuktikan diri bisa bertahan lintas generasi, melawan perubahan zaman. Secara legacy, Konglomerasi dan perseroan besar di Indonesia, umumnya tumbuh dari kegiatan trading (perdagangan jual-beli, agent dan distributor) dengan peran founder yang amat dominan, kemudian masuk dalam proses manufacturing. Ada juga yang tumbuh dari penugasan pemerintah, berupa BUMN, mendapatan konsesi, lalu berkembang pesat dan diversifikasi usaha. Nasib kelanjutan konglomerasi plat merah ini akan ditentukan ketika ia dipaksa untuk berbagi konsensi dengan publik, akibat liberalisasi protocol perdagangan global.
3. Ada ciri khas dari sebuah rezim perekonomian yang maju dan modern, yaitu porsi dunia industri jasa,-service economy- ataupun yang berbasis knowledge economy akanmakin bertambah besar. Amerika serikat sebagai contoh, dekade lalu saja, kontribusi service economy sudah mencapai lebih dari 60 %, dan kini diprakirakan bertengger pada 75 %. Bisnis berbasis knowledge economi, memerlukan kemampuan leadership dan template manajemen yang amat berbeda dengan template zaman manajemen industri–manufacturing-konvensional; sesuatu yang umumnya dikenal dan diadopsi oleh Konglomerasi Nasional
Rekomendasi Solusi
Untuk membangun dan mendorong metamorfosis konglomerasi nasional menjadi Indonesia incorporated layaknya Samsung dan Hyunday, maka ketiga pilar konstruksi ini perlu di perhatian.
1. Institutionalisasi spirit dan kompetensi
2. Formulasi Core focus Diversifikasi
3. Introduksi Entreprenureal Leadership dalam organisasi
1. Institutionalisasi Perseroan.
Driver utama, atau nyawa bisnis konglomerasi umumnya ada dalam figur pemilik – pelopor. Dengan katalainlokomotif gerbong konglomerasi ada pada kaum founders. Berbagai kepiawaian, network dan kompetensi tersebut masih hidup dalam domain individu, baik sang pelopor maupun kelompok orang dekatnya. Sebagian besar belum ter-institutionalisasi. Tidak adanya proses institutionalisasi ini, menyebabkan nasib dan kelangsungan hidup konglomerasi ada ditangan Figur, bukan Sistem!. Akibatnya, nasib perseroan ditentukan ketokohan figur. Itu mungkin sebabnya kita sering melihat pihak perbankan meminta jaminan Personal Guarantre untuk menjamin resiko pembiayaan, jika ada permintaan funding oleh kelompok anak usaha konglomerasi.Kita akan sering melihat, gurita bisnis ini kehilangan nyawa dan akhirnya mati, ketika Foundernya mati atau invalid. Tidak hanya konglomerasi bisnis, dunia oligarki partai politik juga masih terjerat pakem yang sama. Jika Figur ketua umumnya‘habis’, maka kempeslah wibawa organsiasi partai tersebut.
Konglomerasi yang ingin membangun dan menciptakan kedigdayakan Indonesia Inc perlu mengambil prakarsa meng-institutionalisasikan spirit, leadership dan kompetensi mereka. Dan hal ini bukan proses yang mudah. Ia memerlukan investasi jangka panjang, diantaranya struktur dan sistem organisasi. Tidaksaja initiative instituionalisasiinimenuntutinvestasitenaga, pikiran, danadankomitmen yang besar, hasilnya pun tidak bisa langsung dipanen. Proses instituionalisasi memerlukan waktu yang lama sampai sebuah perseroan bisa menciptakan establishement. Orientasi pragmatis membuat prakarsa investasi ini tidak tampak ‘sexy’ dari perspektif bisnis.
Mengapa perseroan perlu memulai usaha proses institutionalisasi? Tanpa ter-institutionalized, berbagai kemampuan dan pengetahuan menjadi milik individual, dan perseroan bergantung pada figur orang. Institutionalisasi itu adalah konversi pengalaman dan pembelajaran terdahulu, dari yang terhimpun dalam kumpulan individu kedalam suatu sistem dan proses, dan menjadi milik dan sistem dan organisai. Kata kuncinya adalah Proses yang dapat diulangi, (repeatbles dan duplicable) dan terbukti handal, jika dijalankan orang lain. Tidak perlu lagi re-inventing the wheel. Tidak juga perlu kembali ke titik asal- back to square one, ketika seseorang harus mengambil alih pekerjaan, akibat pekerja sebelumnya meninggalkan organisasi.
Dari sekian banyak konglomerasi indonesia, Astra Groupboleh dibilang sebagaisalah satu usaha yang berhasil membangun institutionalisasi konglomerasi dengan amat baik. Dan ketika pemilik berganti, kelompok perseroan ini minimal sudah membuktikan diri mereka hidup lebih lama dari pemiliknya. Tidak hanya itu, keberhasilan institutionalisasi ini membuat kelompok Astra ini kian hari tumbuh makin besar.
2. Formulasi Core Focus.
Konglomerasi perlu menciptakan atau membuat pengkerucutkan core focus usaha. Pengkerucutan akan membuat publik mengingat apa saja kompetensi utama, atau core legacy dari usaha mereka. Sama seperti kita bisa dengan mudah menyebut, Apa core focus Samsung. Apa core focus Mitsubishi. Dengan demikian apapun bentuk usaha dan manifestasi komersialisasi mereka, konsumen akan bisa mengingat dengan jelas, apa keunggulan utama group perseroan. Dan pada elemen tersebut, konsumen meletakkan trust dan plihannya, ketika membeli jasa atau produk konglomerasi.
Hanya dengan formulasi core foucs yang jelas, sebuah konglomerasi memiliki nilai pada brand equity nya. Ia menjadi trademark yang memberikan suatu jaminan kepada prospek dan konsumen.Dari sekian banyak konglomerasi di Indonesia. Kelompok Ciputra bisa kita sebut berhasil membangun core focus yang jelas. Dan hal ini membantu membuatnya menjadi sebuah legacy.
Beberapa BUMN terutama bidang konstruksi juga amat baik dalam membangun core fokus ini, misalnya Adhi Kaya yang mulai merambah beyond construction, tetapi masih tetap dalam koridor jasa konstruksi yang merupakan basis keunggulan mereka.Business model mereka mungkin saja berubah, dari upah Jasa Konstruksi, ke bidang Developer maupun Turnkey, tapi core focusnya tidak mengalami pergeseran. Dengan begitu terjadi akumulasi pengkayaan pengalaman.
3. Entreprenurial Leadership.
Lengan diversifikasi konglomarasi yang tumbuh subur, sering membuat organisasi menjadi mesin birokratik. Sistem dan struktur organisasinya terisntall dengan baik, tetapi kehilangan spirit dan nyali bisnis. Ia lebih sering hanya menjadi implementator, bukan lagi motor penggerak. Ketikaperseroanbertambahbesar, danorganisasi makin kompleks, maka amat sering terjadi spirit bisnis- yaitu keberanian mental untuk menyergap peluang- mulai kendor. Salah satu cirinya adalah Kemampuan inovatif- kreatif hilang dan yang muncul adalah daya analisis mikro.
Akibatnya? ketika terjadi shifting perilaku pembelian, demand dan lifestyle konsumen, perseroan kehilangan antisipasi strategis dan tidak sanggup memenuhinya. Organisasi yang terjerak daya birokratik ini bisa diibaratkan suatu bangunan besar, yang punya rancangan struktur yang kokoh dan dingin, tetapi ada ada element kehangatan artsitektur. Ia punya punya kerangka fisik, tetapi tidak ada rohnya. Ambience nya tidak business cozy. Padahal ambience yang nyaman dan hidup itu merupakan habitat bagi para knowledge worker untuk bernaung dan mengembangkan inovasi.
End-
Hendrik Lim, MBA