Banyak leadership coach berbasis motivasional yang mendengung-dengungkan kemampuan emosi, dengan  berbagai istilah, baik itu “kecerdasan emosi”, atau “basis karakter’, termasuk didalamnya  filsafat etik, kepribadian.  Dan pakem ini amat menarik.Dan mereka muncul dalam kalimat- kalimat bijak yang memukau.Goleman 2 dekade lalu menghantarkan pemahaman ini ke panggung dunia, dan diterima secara luas.     Please dont understand me, semua itu baik, tidak ada masalah disana.   Semua ini bangunan yang sangat penting, tidak bisa dipungkiri merupakan bagian-bagian yang sangat esensial dalam menunjang bediri kokohnya suatu establishment bisnis.Saya juga senang mempelajarinya.

Terus apa masalahnya? Yang menjadi masalah adalah kalau pemahaman itu diserap secara fragmental dan ad-hoc; dengan menganggap hal seperti itu sebagai satu- satunya pilar utama, sehingga eksekutif atau future leaders group tidak dibekali dengan kemampuan teknis alias skill yang high caliber.    Saya bicara dalam kontek kehidupan korporat, jadi berbagai pengembangan personal itu harus saya hubungkan dengan sustainabilitas perseroan.

Bayangkan saja, apa yang mau dijual atau dikontribusikan seseorang kalau:   teknik komersial, dia tidak kuasai, sehingga tidak mengerti bagaimana mengusung penjualan secara spektakuler. Teknik keuangan dan akunting tidak mumpuni, terus bagaimana bisa menjadi analisis keuangan yang bisa merekomendasikan berbagai leverage keuangan perseroan? Bidang hukum tidak paham sepenuhnya, terus apa yang mau dijual ke dalam, untuk kepentingan pembelaan legal perseroan? Bidang management, tidak mengusasi business management, terus bagaimana bisa memformulasi strategi, merancang competitiveness  dan outloook? Teknik informatika tidak menguasai hal- hal mutahir, lantas apa yang mau dicapai untuk improvement suatu proses?.Kemampuan teknik (enjinering) dan produksi, tidak paham, terus bagaimana Kita mengharapkannya bisa memperbaiki efisiensi dan lean operation.Teknik persuasi dan engagement tidak paham, terus bagaimana bisa memobiliasi aspirasi kolektif?

 

No Values Creation, No Business
So kemampuan teknis itu menjadi sangat penting.Ia adalah basis values creation. Ia menjadi modal untuk ‘jualan”. Baik itu internal kedalam perseroan, yang disebut dengan istilah kontribusi, Atau keluar perseroan, yang dikenal dengan istilah “product-service offering’.   Bahkan tidak hanya sekedar values offering saja, tetapi ia harus suatu value offering yang punya keunggulan komperatif dibandingkan dengan produser lainnya. Tanpa kemampuan teknis, alias skill, tidak ada values creation.  Tidak ada values creation,- sehebat apapun kecerdasan emosi kita- kita tidak bisa menghadirkan competitiveness.   Akhirnya?Tidak ada income; tidak ada GDP. Perhatikan saja, siapa saja, akan kehilangan daya saing dan akhirnya tidak punya income kalau tidak ada values creation. (lihat orang yang makin tua umurnya, paska pension, badan masih bugar tetapi tidak melakukan upgrade skill, akhirnya  tidak punya real- value creation).   Begitu juga dengan perseroan. Kalau hal hal seperti itu tidak ada, terus atas dasar apa, sustainablitas sebuah perseroan didirikan? Come”on!

Ingat bagaimanapun, kalau sudah bicara organisasi perseroan, Business values creation adalah fundamental keuangan.Ia menentukan seberapa besar dan darimana basis arus masuk kas likuiditas perseroan. Ia menjadi sumber “darah” bagi kehidupan organisasi perseroan. Ia membawa kesenangan dan senyum bagi shareholder dan semua stakeholders. No Values creation, no business! Jadi kita bisa melihat betapa pentingnya pilar yang satu ini.  Kemampuan teknis ada entry ticket dalam competitiveness dan survival.dan derajat alias pagar entri tiket masuk gelanggang  bisnis itu makin lama makin tinggi. disitulah pentingnya upgrade skill.

Jadi kita harus melihat softskill, atau apapun istilah yang anda ingin gunakan, baik itu kecerdasan emosi atau kepemimpinan basis karakter, dan lain –lain; Semua hal itu harus ada, mereka baik adanya. Dan punya peran yang sangat besar,  Tapi harus teritegrasi dengan kemampuan sisi teknis.   Mereka bergerak bersama seperti dua sisi rel kereta api. Keduanya harus ada, baru ia bisa berfungsi utuh. Amat menyedihkan melihat beberapa orang memungut satu dua kasus kegagalan leadership basis kompetensi, dan langsung membuat statement, seperti pembijak, “Kalau kemampuan koqnitif tidak membawa orang kemana- mana: bahwa berbagai orang hebat itu akhirnya hancur”.   Tentu saja hal itu akan menjadi benar, kalau samples eksekustif yang diambil, memang yang sudah bermasalah, terus data samples tersebut ditarik ke belakang, untuk mendapatkan kesimpulan generalisasi. Akan tetapi fakta memberi tahu, jauh lebih banyak, orang dengan kemampuan koqnitif yang baik, yang diasah terus- menerus, yang akan berhasil.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah, Jika anda ingin mempelajari softskill leadership lain-lain, kemampuan teknis tidak boleh dilupakan, kecuali jika orang tersebut memang sudah ingin resign dari kehidupan professional. Keduanya harus diletakkan dalam porsi yang seimbang,alias equilibrium. Tidak ada kunci sukses, dengan hanya mengusung salah satu pilar.Keduanya amat penting.

End-

Hendrik Lim, MBA